Jumat, 23 Maret 2012

Bila iman telah benar, maka seorang hamba akan berdakwah kepada Allah

Wahai orang yang memiliki iman, wahai yang digerakkan perasaan cinta dan rindu pada ridha Rabb-mu dan yang digerakkan untuk meluruskan perjalanan keimananmu, cermati beberapa renungan dalam berdakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut ini:

1. Tetapkan niat di malam hari untuk ber-taqarrub kepada Allah agar kamu berdakwah kepada-Nya, bukan kepada dirimu, pendapatmu, partaimu dan kepada orang-orang tertentu. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,قُلْ ىَػذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّوِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّػبَػعَنِي وَسُبْحَافَ اللّوِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِي ن`Katakanlah, inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik'. "(QS Yusuf 12:108).

2. Engkau harus mengambil takhashshush (spesialisasi) dalam salah satu jalan dakwah, sehingga perhatianmu tidak pecah dan semangatmu tidak lemah. Jadikanlah hal itu sebagai pondasi atau dasar dalam aktivitas dakwahmu, sedangkan yang lainnya adalah sekedar cabang-cabang. Silakan bekerjasama dengan cabang-cabang tersebut selama waktu dan tenagamu memungkinkan. Semua yang bertentangan dengan fokusmu, maka tinggalkanlah hingga kamu membuahkan karya, dakwahpun terlihat hasilnya, dan kamu dapat mencurahkan pikiran untuknya. Seringnya kamu berkecimpung di dalamnya membuat kamu lebih berpengalaman, lebih mahir, lebih mumpuni dibanding orang lain yang tidak secara khusus menangani hal itu. Kalau menuruti nafsu maka nafsu itu suka mencicipi, berpindah-pindah dan berubah. Pada prinsipnya, kita memerlukan mujahadah, berperang melawan nafsu dan mencari yang paling bermanfaat, setelah memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

3. Setiap muslim yang jujur dalam dakwahnya, ber-manhaj Al-Qur'an dan As-Sunnah (sesuai dengan pemahaman Salaful Ummah - pent) maka dia berada dalam kebaikan, insya Allah. Dia pasti mengisi celah dari celah-celah tempat masuknya musuh ke dalam Islam. Dakwah memerlukan banyak sarana dan cara karena banyaknya celah yang harus ditutup. Fulan berdakwah di kampungnya, yang lain di tempat kerjanya, yang ketiga berdakwah di mimbar (khutbah, pidato, ceramah) dan layanan sosial, yang keempat bersama orang-orang miskin, yang kelima di sini, yang keenam di sana dan seterusnya.Dengan demikian, tidak benar bahwa kita membatasi manusia dan menggiring pada bidang yang kita lihat paling manfaat. Atau kita merendahkan peran dan usaha mereka. Atau kita abaikan perhatian dan kemampuan mereka dalam bidang keahliannya. Apa yang kamu lihat penting belum tentu orang lain memandang penting. Masing-masing diri kita berada dalam kebaikan, insyaAllah.Termasuk satu kesalahan bila kita merasa dengan berbagai bidang itu kita menjadi berlawanan, berkompetisi dan tumpang tindih. Karena kita semua berusaha menuju satu tujuan. Termasuk ujub dan sombong bila seseorang menganggap besar peran dan karyanya. Sebaliknya menganggap kecil atau kurang peran yang lain. Apakah ia ingin dakwah kepada Allah ini sebagai jembatan membangun keagungan dan nama baik pribadi, sehingga ia dihormati setiap orang?

4. Waspadalah! Jangan sampai dakwah kepada Allah berubah menjadi perdebatan, mengkritik, menceraiberaikan, membeber aib dan menjatuhkan orang lain. Jika demikian, maka dakwah menjadi usaha untuk merusak, memecah hati, menanam iri, dengki, benci dan. perpecahan. Padahal seharusnya inti dakwah adalah untuk memperbaiki menyatukan suara dan merapatkan barisan. Adapun aib, kesalahan dan kekurangan maka ia adalah sifat lazim pada manusia. Tidak mungkin seseorang dapat melepaskan diri daripadanya, kecuali para Nabi dan Rasul yang ma’shum.Untuk mengobati dan menanggulanginya ada banyak cara yang sudah jelas dalam syariat Islam. Mustahil rasanya bila para da'i tidak mengetahui hal itu, kecuali orang yang mengikuti hawa nafsu dan prasangka-prasangka buruk. Tidak ada seorangpun yang bisa selamat dari kesalahan, baik dalam uslub-nya (cara, gayanya), pemahamannya maupun ijtihadnya; baik di rumahnya, di tempat kerjanya, dalam dakwahnya dalam interaksinya dengan tetangga, teman maupun dengan masyarakat luas. Bila kita selalu menjatuhkan, mencela dan meninggalkan orang (dari Ahlus Sunnah) yang terperosok salah, lalu siapa yang akan tersisa untuk kita?!Dapatkah dibenarkan bila kita menuntut setiap orang agar sempurna dalam segala sesuatu? Lalu siapa yang telah sempurna dan dituntut sempurna? Yang seharusnya adalah usaha dan jalan dakwah itu saling melengkapi, menutup yang belum ditutup oleh yang lain dan kita menjadikan prasangka baik sebagai asas dalam setiap kesalahan atau kekurangan da'i yang bermanhaj Al-Qur'an dan As-Sunnah (menurut pemahaman Salaf). Kesalahan atau kekurangannya kita bawa kepada kemungkinan yang paling baik. Bila kita tidak mendapatkan alasan untuk memakluminya maka kita katakan, "Mungkin dia memiliki alasan yang kita belum mengetahuinya. Ini adalah manhaj syar’i."Karena hati manusia dan niat mereka bukan urusan kita. Maka kita tidak boleh menerka-nerka dan berburuk sangka. Adapun jika masuk ke wilayah pendapat dan Ijtihad, maka tidak boleh secara syar’i memonopoli pendapat agar hanya pendapat kita saja yang benar dan yang lainnya ditolak. Ini termasuk sempitnya cakrawala berpikir dan dangkalnya ilmu. Dengan memonopoli pendapat, fanatik kepadanya, mencintai dan membenci karenanya dan menjadikannya sebagai ukuran untuk menghukum orang lain.Syaikhul Islam berkata, "Siapa yang menjadikan seseorang - siapapun dia- (sebagai ukuran), maka dia mencintai dan memusuhi atas dasar ucapan dan perbuatannya, dia termasuk orang yang memecah belah agama. Bila seseorang mempelajari fiqih dan adab satu kaum dari kaum mukminin, bagaimana mengikuti salah seorang syaikh, maka dia tidak boleh menjadikan syaikh dan para sahabatnya itu sebagai satu ukuran, sehingga dia mencintai orang yang sesuai dengan mereka dan memusuhi orang yang menyalahi mereka.Seyogyanya seseorang membiasakan diri memahami yang tersembunyi dalam dirinya dan dalam pengamalannya. Ini adalah pengekang diri, isinya hati akan muncul saat-saat ujian. Tidak boleh seseorang mengajak pada satu ucapan yang ia yakini, karena ia adalah ucapan para sahabatnya. Ia tidak boleh berkelahi atasnya. Akan tetapi ia harus menyebarkannya karena sesuatu itu termasuk diperintah Allah dan Rasul-Nya, atau dikabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebab hal ini termasuk ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya .

5. Hadirkanlah rasa tanggungjawab mengemban beban dakwah. Jadikan dakwah sebagai tugasmu yang utama, yang dengannya kamu bangun dan di atasnya kamu masuk malam hari. Usahakan perasaan ini meresap dalam jiwamu dan dalam lubuk hatimu yang paling dalam. Tanam tujuanmu yang pertama dan terakhir agar kamu bertemu Allah dalam keadaan sedang berdakwah kepada-Nya dan menunjukkan kepada jalan-Nya. Dengan demikian, dakwah menjadi mudah bagimu, tidak merasa berat dan sempit. Sebab, engkau telah menyabarkan dirimu atasnya telah meminum kepahitannya, sehingga kamupun menjadi terbiasa. Berbeda dengan orang yang dakwahnya tergantung agenda kepentingannya. Jika ia ada kesempatan, maka ia ikut, atau kadang-kadang diundang untuk amal sosial. Kadang-kadang mengajukan udzur dan kadang-kadang hadir. Ia ingin dirinya terus dipikul, diajak dan digiring di bawah tekanan. Orang seperti ini belum memakai baju dakwah dan belum meminum air dakwah. Dakwah belum menjadi kehidupannya, terminal harapan dan dukanya. Dia belum memanfaatkan acara-acara itu untuk dakwah, tetapi justru ia dimanfaatkan oleh acara-acara itu. Seharusnya memanfaatkan pekerjaannya, dunianya dan segala interaksinya sebagai sarana dakwah, bukan malah membuatnya tersibukkan oleh dakwah.

sumber : Abdullah bin Fahd As-Sallum. 2005. Dahsyatnya Energi Iman Yang Benar hal 45-48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar